Penghentian
Sementara Pemberian Remisi dan Pemebebasan Bersyarat Bagi Para Koruptor
Saat ini para narapidana kasus
korupsi tidak bisa lagi mendapatkan keringanan hukuman, hal ini dikarenakan
Kementrian Hukum dan HAM menghentikan sementara (moratorium) pemberian remisi
dan pembebasan bersyarat kepada narapidana kasus korupsi. Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mengatakan
bahwa pemerintah sedang mengkaji aturan remisi dan pembebasan bersyarat bagi
narapidana korupsi dan tindak terorisme. Selama proses mengkaji itu, kebebasan
bersyarat ditiadakan dulu. Kemenkumham berharap berbagai upaya itu bisa
memperkuat efek jera bagi koruptor. Vonis
rendah koruptor yang sudah terbukti bersalah dan terpotong remisi, dinilai akan
mencederai rasa keadilan. Selain hukuman yang berat, perampasan seluruh
harta koruptor dinilai menjadi cara yang efektif melawan korupsi. Selama ini,
walau banyak koruptor yang dipenjara namun mereka tetap bergelimang harta. Efek
jera bagi pelaku korupsi pun sulit dicapai. Padahal kasus korupsi telah
merugikan banyak pihak termasuk juga masyarakat yang sebenarnya tidak tau
apa-apa bahkan mereka sangat dirugikan oleh para koruptor.
Kebijakan-kebijakan
tersebut merupakan upaya pemerintah dalam pemberantasan korupsi dan juga
merupakan respons atas suara publik yang menuntut pencabutan remisi dan
pembebasan bersyarat bagi para koruptor. Kementrian Hukum dan HAM berharap agar
berbagai upaya yang dilakukan itu bisa memperkuat efek jera bagi para koruptor.
Tuntutan itu dikarenakan adanya beberapa terpidana kasus korupsi yang
mendapatkan remisi dan juga pembebasan bersyarat.
Selain itu
upaya-upaya ini dilakukan sebagai bagian dari semangat pemberantasan korupsi
dan pertimbangan rasa keadilan masyarakat. Selain itu juga akan ditingkatkan
sistem pencegahan karena pemberantasan korupsi harus paralel antara penindakan
dan pencegahan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengapresiasi kebijakan
pemerintah menghentikan sementara pemberian remisi dan pembebasan bersyarat
bagi terpidana korupsi. KPK juga mengimbau pemerintah agar memperketat hukuman
bagi koruptor, salah satunya dengan meninjau ulang pemberian bebas bersyarat
dan juga memghapus poin pembebasan bersyarat.
Anggota Komisi
III DPR Ahmad Yani setuju dengan pengetatan hukuman bagi koruptor, tetapi keinginan tersebut terhalang oleh aturan
Undang-Undang karena aturan pembebasan bersyarat itu di tentukan UU KUHP, UU
Pemasyarakatan, dan Peraturan Pemerintah. Menurut Ahmad Yani pengetatan hukuman
bagi koruptor dilakukan dengan cara pemiskinan. Pemiskinan dinilai efektif
menimbulkan efek jera bagi siapa pun yang melakukan korupsi. Menurut penilaian Direktur
Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) UGM Zainal Arifin Mochtar, penegakan hukum korupsi
yang lemah menyebabkan koruptor tidak lagi jera untuk melakukan korupsi. Ini
bisa berakibat semakin berkembangnya kasus korupsi dan tidak akan terputus,
selain itu kekuasaan peradilan selama ini tidak terlalu kuat memvonis koruptor,
hal ini dilihat dari ringannya hukuman yang diberikan kepada para koruptor
sehingga wajar bila terpidana kasus korupsi bisa bersyarat. Meskipun belum
sempurna, kebijakan pengetatan remisi yang dilakukan pemerintah seharusnya
didukung DPR dengan tujuan meningkatkan efektifitas penghukuman dan pemberian
efek jera bagi terpidana korupsi. Pemberian
remisi di tengah rendahnya rata-rata hukuman pengadilan terhadap koruptor
justru bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat.
Bagaimana pun, perilaku korupsi
itu hanya bisa dihentikan jika politik hukum dan sistem hukum mampu memberi efek
jera. Pemberian remisi hanya akan membuat para koruptor merasa jera sebentar
saja saat dia di penjara, akan tetapi pada saat dia keluar dari penjara bisa
saja mereka akan mengulanginya kembali yang pada akhirnya tidak akan membuat
negara ini bebas dari kasus korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar