Ketika
Keadilan Tidak Berpihak Kepada Rakyat Kecil
Keadilan saat ini sepertinya
hanya untuk orang yang mempunyai kekuasaan ataupun orang-orang yang mempunyai
uang. Hal ini sangat amat memprihatinkan karena rakyat kecil yang seharusnya
juga dibela akan tetapi menjadi orang yang terpojokkan pada saat tertimpa suatu
masalah atau saat sedang menghadapi suatu masalah hukum. Selalu saja rakyat
kecil hanya menjadi korban atau dikorbankan dalam setiap kasus hukum yang
menimpanya. Hukum tidak berdaya pada orang yang dekat dengan kekuasaan dan
rasanya keadilan di negeri ini hampir mati. Elit dapat berkelit dari hukum
dengan kekuasaan dan uang. Rakyat kecil sulit untuk memperoleh keadilan dan
kerap menjaddi korban. Ditambahkan Febri Diansyah dari Indonesia Corruption
Watch, hukum di Indonesia timpang dan buktinya banyak terdakwa korupsi divonis
rendah, bahkan bebas. Selain itu menurut Hikmahanto Guru Besar Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, tak hanya perangkat hukum, aparat penegak hukum dan
pemerintah juga belum berpihak terhadap rakyat. Mereka juga tidak membantu
rakyat kecil untuk mendapatkan keaddilan ketika berhadapan dengan hukum.
Sebagai contoh adalah Indra Azwan
yang menuntut keadilan harus ditegakkan terkait dengan kematian anaknya yang
menjadi korban tabrak lari pada tahun 1993. Dia menuntut keadilan atas bebasnya
Inspektur Satu Joko Sumantri yang menabrak anaknya hingga tewas. Karena tidak
adanya kepastian hukum, akhirnya Indra nekat jalan kaki dari Malang ke Jakarta
untuk bisa bertemu kembali dengan Presiden SBY. Perjalanannya di mmulai sejak
tanggal 18 Februari 2012, dan setibanya di Jakarta pada tanggal 20 Maret 2012.
Indra ditemui oleh Wakil Menteri hukum dan HAM, Denny Indrayana di komplek
Istana Negara. Saat pertemuan dengan Denny, Indra menyampaikan uneg-unegnya.
Sesuai janjinya, ia berjalan kaki dari Malang untuk mengembalikan uang sebesar
25 juta pemberian dari Presiden SBY. Kasus ini begitu lambat penanganannya
padahal sudah terjadi 19 tahun yang lalu. Contoh lain yaitu putusan bersalah
yang dijatuhkan kepada AAL. Dia dituduh mencuri sendal milik seorang polisi
Briptu Ahmad Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulteng.Putusan dari Hakim
tunggal Rommel F Tampubolon dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Palu,
Sulawesi Tengah mungkin tak bermasalah secara legal. Namun mengingat perlakuan
dan vonis yang rendah pada pelaku korupsi, menurut Zaidun, Guru Besar Fakultas
Hukum Universitas Airlangga, putusan itu tidak memenuhi rasa keadilan rakyat.
“Sanksi pada kasus kenakalan anak adalah pembinaan oleh orangtuanya. AAL
diperlakukan seperti terdakwa dewasa dan tidak ada pendekatan manusiawi. Selain itu sejumlah kasus kemanusiaan, banyak
mengundang perhatian publik. Kasus Prita Mulyasari termasuk sangat fenomenal
karena dari gerakan pengumpulan koin, bisa menghimpun dana simpati hampir Rp. 1
Milyar dan menggelar konser amal dari para selebritis. Menkumham juga berharap, polisi dan kejaksaan
dapat memilih mana kasus yang layak tetap maju ke pengadilan atau tidak. Lambatnya
penanganan kasus ini membuktikan bahwa pemerintah memang tidak mampu memberikan
rasa keadilan dan rasa aman bagi rakyat kecil. Pemerintah juga gagal
menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai pelayan masyarakat. Selama ini hukum hanya keras terhadap orang
lemah. Rakyat kecil sulit untuk memperoleh keadilan. Tampaknya hukum di
Indonesia saat ini tidak seimbang, buktinya banyak terdakwa korupsi divonis rendah,
bahkan bebas. Namun sejumlah orang kecil lain yang terpaksa melakukan
pelanggaran justru dihukum. Tak hanya perangkat hukum, aparat penegak hukum dan
pemerintah juga belum memihak terhadap rakyat. Mereka juga tidak membantu
rakyat kecil untuk mendapatkan keadilan ketika berhadapan dengan hukum. Hukum
hanya tajam jika ke bawah dan tumpul juka berhadapan dengan kalangan atas atau
orang yang mempunyai modal. Menurut Soetandyo Undang-Undang itu dead letter law
(hukum yang mati). Hukum menjadi aktif dan dinamik melalui kata hati dan tafsir
hakim. Kalau putusannya aneh, itu bukan salah Undang-Undang, melainkan
hakimnya. Hakim harus pandai memberi keputusan yang bisa diterima.
Kekuatan politik masyarakat
rendah. Sifat perbuatan melawan hukum dalam suatu tindak pidana
bisa dihilangkan dengan cara melihat besarnya kerugian atau dampaknya terhadap
masyarakat yang luas. Hakim terlalu legalistik jika
pihak yang lemah menjadi terdakwa. Hukum yang memanjakan penguasa dan menekan
rakyat akibat dominannya politik dalam menyelesaikan problem bangsa. Banyak
persoalan bangsa, termasuk kasus hukum, diselesaikan melalui negosiasi politik
dengan mengandalkan legitimasi politik.
Terkadang posisi seorang jaksa sulit membedakan raa keadilan yang tepat
bagi seorang terdakwa di pengadilan. Penegakan hukum tidak memberi ruang pada
rakyat kecil. Penegakan hukum hanyalah etalase belaka. Saat ini persoalan
keadilan bagi rakyat Indonesia kini menjadi sebuah bayangan riil yang
ditafsirkan hukum di Indonesia adalah hukum untuk uang.
Sumber :
2.http://nasional.kompas.com/read/2012/01/06/05172946/Rasa.Keadilan.Hampir.Mati
Komentar / Kesimpulan : Menurut saya hukum di Indonesia saat ini memang hanya memihak pada
kekuasaan ataupun memihak kepada orang-orang yang mempunyai uang. Penegakkan hukum tidak memberi ruang pada
rakyat kecil. Hukum terlihat sering sangat sewenang-wenang kepada rakyat kecil.
Memang sungguh ironi melihat keadilan di negeri ini yang tidak di duga hanya
sebagai tempat jual beli oleh para oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Terkadang
posisi seorang jaksa sulit membedakan rasa keadilan yang tepat bagi seorang
terdakwa di pengadilan. Karena selama ini jaksa bekerja sesuai dengan sistem
perundangan yang sudah ada. Tidak heran saat ini banyak mafia hukum, jual beli
kasus,dll. Seharusnya pihak yang terkait dapat lebih adil dalam menangani suatu
masalah hukum dan tidak membela pihak-pihak yang berbuat curang. Dan juga
seharusnya aparat penegak hukum harus lebih adil dalam membela siapa yang benar
dan juga siapa yang salah. Semoga para penegak hukum yang ada di Indonesia
mengerti bahwa sesungguhnya keadilan bagi rakyat sangatlah diperlukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar